Pages

Saksi Bisu Kekejaman Rezim Khmer Merah di Phnom Penh Cambodia

Ketika tahu akan berkunjung ke Kota Phnom Penh, Kamboja salah satu tempat yang saya niatkan untuk didatangi adalah Museum Genosida Tuol Sleng, sebuah museum yang menyimpan kenangan dan gambaran drama terkeji dan paling biadab dalam sejarah tragedi kemanusiaan di benua Asia. Sebelumnya saya hanya tahu cerita seputar museum ini dari informasi foto dan video yang ada di internet. Kesempatan untuk bisa berkunjung langsung ke lokasi museum tersebut tentunya tidak saya sia-siakan. Beruntungnya rekan kerja saya di Phnom Penh bersedia mewujudkan rasa ingin tahu saya tersebut.
Minggu, 9 Mei 2010, di hari kedua kunjungan saya di Kota Phnom Penh, menumpang motor rekan kerja, berangkatlah kami menuju lokasi Museum Genosida Tuol Sleng.  Supaya nyaman kami putuskan meluncur agak pagi, maklum… ketika saya disana cuaca di Kota Phnom Penh sangat panas, di siang hari bisa mencapai 40 – 45 derajat celcius, sementara di malam hari mencapai 33 – 35 derajat celcius. Namun keputusan berangkat agak pagi tersebut tidak senyaman yang dibayangkan. Cuaca kering dan panas tetap saja kami rasakan.
Setelah menempuh lebih kurang setengah jam perjalanan dari hotel tempat saya menginap, Khmeroyal Hotel, kami akhirnya sampai di lokasi museum. Dari luar, kesan pertama terhadap bangunan museum ini layaknya sebuah areal sekolah. Kesan angker mulai terasa ketika kita melihat keberadaan kawat berduri yang sudah berkarat terpasang pada tembok pembatas setinggi dua meter yang melingkari areal bangunan. Di pintu gerbang, kita akan disambut beberapa pengemis cacat. Tanpa ingin berpikiran negatif, terlihat sekali jika para pengemis tersebut memanfaatkan keadaan. Untuk menarik simpatik dan belas kasihan (terutama kepada turis asing), mereka mengaku sebagai bekas korban perang.
Kami memarkir motor di bagian dalam, tepat disisi kiri tempat pembelian karcis masuk. Sebelum berangkat, rekan saya memberitahu bahwa untuk masuk areal museum tersebut kita harus membeli karcis masuk senilai 2 dollar. Hal ini tidak berlaku bagi penduduk lokal, mereka dibebaskan alias tidak membayar. Berdasarkan info tersebut, saya sengaja menyiapkan uang pecahan senilai 4 dolar, artinya untuk membeli karcis masuk dua orang. Namun begitu melewati bagian loket pembelian karcis kami tidak ditagih layaknya beberapa turis asing. Saya heran dan bertanya ke rekan di sebelah. Sambil tersenyum dia menjawab artinya wajah kami sudah dianggap sebagai penduduk asli, ditambah lagi kami datang dengan mengendarai sepeda motor bernomor kendaraan setempat. Mendengar hal tersebut, saya tertawa lepas dan menerima saja keadaan tersebut tanpa harus membahasnya lebih panjang.
Dari tulisan yang tertera di bagian masuk setidaknya menjawab kesan pertama yang saya rasakan tadi. Ternyata benar, awalnya museum ini adalah merupakan bangunan sekolah menengah atas bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School. Setelah kekuasaan di Kamboja jatuh ke tangan Pol Pot, pada tahun 1975 sekolah ini diubah menjadi sebuah penjara tempat interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik Khmer Merah. Pada masa itu, penjara ini merupakan penjara terbesar di Kamboja dengan tembok seng berlapis dan dilingkari kawat berduri yang padat. Penjara ini dikenal dengan sandi rahasia “S. 21″ (Security Office 21). Jika dari depan, bangunan museum ini (yang juga sebagai bangunan penjara) berbentuk huruf U dan memiliki empat gedung. Masing-masing gedung terdiri dari tiga lantai.
Mengapa saya tertarik mengulas cerita mengenai apa yang terjadi di dalam museum ini. Sebelumnya mohon maaf jika nanti dalam pemaparan ada beberapa bagian kalimat terbaca vulgar dalam menggambarkan kesadisan penyiksaan yang dialami oleh para tahanan. Seperti yang disinggung di bagian depan, pada perjalanannya museum yang asal mulanya bangunan penjara ini tidak hanya dijadikan tempat penyiksaan tahanan dari luar kamboja saja, tetapi juga penduduk setempat. Sehingga cukup beralasan jika kemudian apa yang dilakukan oleh Rezim Pol Pot ini dianggap sebagai tragedi kemanusiaan paling keji dan biadab di benua asia.
Apa yang dilakukan oleh para penjaga penjara yang juga adalah serdadu Khmer Merah jauh di luar ambang waras pikiran manusia normal, brutal, keji dan biadab. Para serdadu penjaga penjara dan juga pengurus penjara ini berhasil dicuci otaknya untuk menyiksa dan membunuh tahanan dengan tanpa rasa bersalah dan penyesalan sedikitpun. Bahkan diantara para tahanan tersebut adalah orang tua dan saudara kandung mereka sendiri.
Dari lokasi gapura tulisan pengenalan tentang museum tadi, kami berjalan ke sisi kiri, menuju Gedung A. Pada halaman depan kita disambut dengan 14 kuburan tanpa nama. Dari tulisan yang terpampang kita bisa mengetahui bahwa ini adalah kuburan 14 mayat korban terakhir yang ditemukan oleh tentara Kamboja di Gedung A dan disiksa dan dibunuh oleh penjaga penjara, sebelum para penjaga tersebut melarikan diri. Salah satu dari korban tersebut adalah seorang wanita.
Di halaman depan Gedung A ini juga terpajang semacam tugu kecil yang berisikan informasi aturan bagi para tahanan (security regulation). Secara apa adanya, isi aturan tersebut adalah demikian: (1) You must answer accordingly to my questions, don’t turn them away, (2) Don’t try to hide the facts by making pretexs this and that. You area stricly prohibited to contest me, (3) Don’t be a fool for you are chap who dare to thwart the revolution, (4) You must immediately answer my questions without wasting time to reflect, (5) Don’t tell me either about your immoralities of the essence of the revolution, (6) While getting lashes or electrification you must no cry at all, (7) Do Nothing, sit still and wait for my orders. If there is no order, keep quiet. When I ask you do to something, you must do it right away without protesting, (8) Don’t make pretexts about Kampuchea Krom in order to hide your jaw of traitor, (9) If you don’t follow all the above rules, you shall get many many lashes of electric wire, (10) If you disobey and point of my regulations you shall get either ten lashes or five shocks of electric discharge. Waw!! serangkaian aturan yang menyeramkan.
Perasaan seram mulai membayangi manakala kita memasuki ruangan di lantai satu Gedung A tersebut. Pada setiap ruangan kita akan menemukan tempat tidur besi lengkap dengan batangan dan kalung kaki besi serta satu kotak terbuat dari seng. Sementara di dinding terpajang sebuah figura foto asli salah seorang korban yang disiksa di atas tempat tidur tersebut. Di atas tempat tidur inilah para tahanan dipukul dan disiksa dengan benda tumpul selain senjata. Saya tidak mau berlama-lama di ruangan tersebut. Melihat dan memotret foto korban dan tempat tidur besi itu saja sudah membuat saya merinding, apalagi untuk membayangkannya.
Keluar dari ruangan ini, ada bagian yang menarik perhatian saya di halaman muka gedung, tepatnya di depan Gedung B, sebuah tiang berbentuk gawang yang tingginya sekitar 6 atau 7 meter. Di bagian kayu yang memalang terdapat dua cincin pengait besi dipasang berjejer, sementara di bagian tanah sejajar dengan masing-masing cincin pengait tersebut diletakkan dua tong besar. Dari penjelasan yang saya peroleh, tiang gawang ini merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk penyiksaan. Para tahanan digantung dengan posisi kepala di bawah, tangan dan kaki diikat. Pada bagian kaki diikat dengan tali tambang dengan satu bagian ujung tali dipegang dan ditarik oleh penjaga. Pada posisi sedemikian para tahanan ini diturunkan sampai bagian kepala hingga dadanya masuk ke dalam tong besar yang sudah diisi dengan air, didiamkan beberapa saat lalu ditarik kembali ke atas. Hal ini dilakukan berulang sampai tahanan tersebut lemas dan bahkan meninggal.  Mmmmm……
Dari sini kami masuk ke ruangan di lantai satu Gedung B. Pada ruangan pertama yang saya masuki terdapat sebuah lemari kaca berisi penuh pakaian. Pakaian tersebut adalah pakaian yang dikenakan oleh para tahanan yang menghuni penjara. Tampak jelas jika pakaian yang tertumpuk begitu saja tersebut sangat kotor dan usang, kotor karena bercampur debu, tanah, dan mungkin darah, usang karena ditelan usia.
Pada ruangan yang sama dan ruangan berikutnya membuat saya tertegun. Begitu banyak foto hitam putih yang terpajang dan tersusun rapi dalam bingkai kaca. Ekspresi wajah yang terdapat dalam foto-foto tersebut menggambarkan keputusasaan, ketakutan dan kepasrahan. Inilah dokumentasi foto asli para tahanan yang ditemukan kemudian. Foto-foto ini dibuat oleh penjaga dan pengurus penjara saat proses interogasi atau setelah penyiksaan. Artinya pemotretan ini memang sudah disiapkan. Bahkan setiap foto tahanan dilengkapi dengan penomoran.
Sambil sesekali memotret, saya mendengarkan penjelasan seorang guide yang sedang membawa serombongan turis. Menurut penjelasannya, setelah dipotret para tahanan dibunuh secara keji tidak dengan peluru, melainkan dengan benda tumpul atau (mohon maaf) yang paling banyak dengan cara disembelih atau di tusuk dengan bayonet.  Entah setan apa yang merasuki serdadu penjaga penjara tersebut, yang pasti mereka lebih senang melihat tahanan disiksa pelan-pelan ketimbang langsung ditembak mati.
Pada satu ruangan, langkah saya terhenti di depan dua buah bingkai foto berukuran besar yang memperlihatkan seorang perempuan sedang duduk dikursi sambil memangku bayinya yang masih merah. Satu foto dari arah samping dan yang satu lagi foto dari arah depan. Dari keterangan yang tertulis di bingkai dapat kita ketahui bahwa perempuan di foto tersebut adalah istri salah seorang bekas menteri rejim Khmer Merah yang oleh Pol Pot dianggap telah mengkhianatinya. Jelas sekali bahwa perempuan malang tersebut memendam rasa putus asa, ketakutan dan kepasrahan atas nasib dirinya dan bayi mungilnya.
Dengan sedikit keberanian, saya arahkan kamera digital ke arah foto perempuan malang tersebut pada posenya yang menyamping. Dari sini lah baru saya sadar. Perempuan malang tersebut tidak hanya sekedar duduk di sembarang kursi. Kursi tersebut adalah kursi penyiksaan. Di bagian belakang kepala perempuan tersebut dipasang mata bor kecil dan runcing, dan…maaf… dengan cara itulah dia disiksa hingga tewas. Menyaksikan hal tersebut, bulu roma saya langsung merinding. Niat untuk mengambil gambar pada fosenya yang dari depan saya urungkan. Secara bergantian bola mata saya menatap wajah perempuan dan bayi dalam pangkuannya. Teringat wajah isteri dan anak saya di tanah air. Emosi saya bermain, hampir saja saya menangis, membayangkan rasa sakit yang dialami perempuan malang tersebut.
Dari sedikit mendengar penjelasan guide yang memandu serombongan turis tadi disebutkan bahwa mereka yang pernah ditahan di penjara ini ada sekitar 15.000 orang. Dari jumlah tersebut, tak lebih dari tujuh orang yang selamat, selebihnya dibantai.  Mereka berasal dari berbagai profesi yang oleh rezim Khmer Merah dianggap membahayakan. Seperti diantaranya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, termasuk guru-guru, dosen dan professor, mereka yang duduk dalam pemerintahan sebelumnya, kemudian mereka yang punya hubungan dengan orang-orang Barat, juga mereka yang bisa berbahasa Inggris. Lebih gila lagi adalah yang diburu dan dibunuh tidak hanya individu dari masing-masing orang, tapi juga seluruh anggota keluarganya.
Saya jadi bertanya, apa sebenarnya yang menjadi tujuan Rezim Pol Pot dengan perlakuan yang maha keji tersebut. Penjelasan selanjutnya dari guide tersebut sedikit menjawab. Pol pot ternyata ingin membentuk pemerintahan dari “nol”, dimana rakyat yang dipimpinnya dapat menerima nilai-nilai baru yang ingin ditanamkan tanpa banyak bertanya ataupun melawan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka siapapun yang dianggap berbahaya dan akan membahayakan kekuasaannya harus dibasmi.
Saya melanjutkan ke sisi lain ruangan. Di ruangan ini terdapat beberapa foto tengkorak dan tulang belulang manusia. Disini terdapat juga susunan batang dan cincin/gelang besi. Konon, oleh pengurus penjara, ruangan yang berukuran sekitar 6 x 10 m ini disulap menjadi ruang tahanan massal bagi tahanan pria. Para tahanan ditempatkan berjajar, diikat kakinya dengan sebatang besi dan kemudian dikunci ke gelang besi yang dicor ke lantai. Ruang gerak untuk tiap tahanan adalah sepanjang tubuh mereka sendiri pada posisi berbaring. Salah seorang dari tujuh tahanan yang masih hidup dan ikut memberikan penjelasan memperagakan bagaimana posisi para tahanan yang ditahan diruangan ini.
Keluar dari ruangan tersebut, saya menghirup dan menarik nafas dalam untuk melanjutkan perjalanan ke gedung berikutnya, Gedung C. Memang dibutuhkan keberanian dan kesiapan mental untuk dapat menyaksikan bukti-bukti yang terpajang dan mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi di museum bekas penjara ini.
Kondisi fisik Gedung C tidak ubahnya dengan dua bangunan gedung sebelumnya, tua dan usang. Bedanya, di bagian depan pada masing-masing tingkat dari gedung ini dibalut rapat dengan kawat berduri. Kawat berduri ini dipasang supaya para tahanan tidak melarikan diri dan juga tidak meloncat untuk bunuh diri. Ya, bunuh diri. Ternyata ada juga tahanan yang berpikir lebih baik mati dengan cara bunuh diri daripada disiksa secara pelan-pelan. Meskipun tidak benar, setidaknya mereka tidak mengalami pesakitan dari serangkaian proses penyiksaan yang harus diterima.
Memasuki lantai satu dari gedung ini kita akan dihadapkan pada ruangan yang dibagi dalam sel-sel kecil. Dalam ruangan berukuran sekitar 6 x 10 m tersebut dibagi menjadi 10 sel-sel kecil dengan ukuran 1 x 2 m, tanpa pintu. Pada masing-masing dinding diberi nomor. Dari penjelasan yang saya dengar, sel-sel ini dibuat untuk para tahanan perempuan, berikut bayi atau anak balitanya (bagi tahanan yang mempunyai bayi atau balita).
Saya memberanikan diri melongok ke dalam salah satu sel. Bau pengab dan tidak sedap tercium. Mungkin ini hanya sugesti saya lantaran terbawa emosi membayangkan suasana penghuni sel tersebut kala dulu. Didalamnya saya menemukan satu kotak kaleng kecil yang sudah berkarat dan rantai besi yang satu ujungnya dicor dilantai. Saya baru tahu jika rantai tersebut digunakan untuk mengikat kaki para tahanan. Lalu bagaimana kalau para tahanan ingin buang air kecil atau pun besar? Ternyata kotak kaleng kecil tadi disediakan untuk maksud diatas. Wuih, dalam hitungan hari, minggu dan mungkin bulan, kebayang bagaimana kondisinya. Namun umumnya tahanan disini tidak akan bertahan sampai berbulan-bulan, karena akan dibunuh oleh para penjaga.
Selain siksaan, dari sisi asupan makanan dan minuman ternyata tidak kalah sadisnya. Para tahanan diperlakukan sangat amat tidak manusiawi. Coba bayangkan, setiap hari mereka hanya mendapatkan semangkuk bubur nasi encer dan sedikit air minum. Air minum ini pun diberikan dengan cara langsung dituangkan ke dalam mulut mereka. Pantas saja dari tadi saya perhatikan difoto yang terpajang jika kondisi tubuh para tahanan ini kurus kering sampai hanya kelihatan lekuk tulang belulangnya saja.
Saya kemudian beranjak ke Gedung D, gedung terakhir dari keseluruhan bangunan museum. Di dalam gedung ini kita masih tersimpan beberapa alat dan sarana penyiksaan yang digunakan oleh penjaga dan pengurus penjara dan juga serangkaian lukisan tangan yang menggambarkan wujud penyiksaan untuk masing-masing peralatan penyiksaan yang pamerkan. Beberapa foto hitam putih tahanan juga masih bisa kita temukan disini.
Satu per satu ruangan saya jelajahi. Di ruangan pertama, kita dapat melihat langsung wujud kursi bor batok kepala. Disini kita kembali menemukan foto perempuan malang dengan bayi dipangkuannya sebagaimana yang sudah diceritakan di depan. Meskipun sudah usang, kursi penyiksaan itu masih tersimpan rapi di lemari kaca.
Pada ruangan berikutnya kita dapat melihat beberapa alat penyiksaan dan serangkaian lukisan yang dibuat untuk menggambarkan kondisi tahanan yang sebenarnya saat disiksa dengan alat tersebut. Untuk memotret kembali lukisan-lukisan tersebut saya sendiri rasanya tidak tega, hanya beberapa yang berani saya abadikan kembali. Karena begitu sadisnya rekonstruksi yang digambarkan pada setiap lukisan. Ada lukisan yang menggambarkan seorang tahanan tanpa pakaian dengan mata ditutup kain hitam dan kondisi badan tinggal tulang diikat pada sebatang kayu dan dipanggul oleh dua serdadu layaknya memanggul kambing yang akan disembelih atau dikuliti. Tidak tahu persis, apakah tahanan tersebut masih hidup atau sudah dalam kondisi meninggal.
Ada juga lukisan yang menggambarkan seorang ibu yang merayap di lantai dan meratapi bayinya yang sedang direbut oleh seorang serdadu penjaga penjara. Sang penjaga tidak menghiraukan ratap tangis sang ibu dan juga bayi yang sedang diperebutkan. Nasib bayi tersebut sangat tragis. Pada lukisan lain digambarkan dengan jelas bagimana nasib bayi tersebut. Bayi itu oleh penjaga di lempar ke atas dan saat tubuh bayi itu melayang turun, tubuh lembut bayi itu disambut dengan, sekali lagi mohon maaf…, tusukan bayonet yang merobek-robek tubuh mungilnya. Pada lukisan lain menggambarkan tumpukan mayat bayi dan anak kecil yang bersimbah darah dan dijejer seperti ikan. Tampak terlihat bagaimana para penjaga dengan tangan dingin mereka melempar dan mengatur jejeran mayat tersebut.
Di bagian ruangan berikutnya kita juga bisa melihat lukisan yang menggambarkan seorang tahanan perempuan yang ditelanjangi dan diikat seluruh tangan dan kakinya dan kemudian maaf…. dipotong puting payudaranya dengan mempergunakan alat penyatut. Lalu dibagian dadanya dilepas kalajengking dan dibiarkan mengigit si perempuan malang tersebut. Pada ruangan berikutnya kita dapat menyaksikan lukisan seorang tahanan yang direndam dalam bak kayu dengan kedua tangan terikat dan posisi kepala di bawah. Kemudian, ke dalam bak air itu dialirkan listrik. Alat yang digunakan untuk menyiksa sebagaimana yang tergambar dalam lukisan tersebut dipajang pada ruangan yang sama. Di ruangan ini kita juga bisa melihat foto tujuh orang tahanan yang akhirnya dapat selamat (hidup) dari serangkaian siksaan yang berlaku.
Menyaksikan beberapa lukisan terakhir akal sehat saya benar-benar tidak tega. Bahkan beberapa foto dari lukisan-lukisan yang sudah saya ambil akhirnya saya hapus dari kamera digital. Sungguh kejam dan biadab.
Pada ruangan terakhir kita akan menemukan kumpulan tengkorak dan tulang belulang manusia yang disimpan dan dipajang pada rak dan lemari. Itu adalah tengkorak dan tulang belulang yang berasal dari para tahanan yang dibunuh di penjara ini. Usai melihat itu semua, saya berdiam diri sejenak di areal depan gedung, menyeruput air mineral yang saya bawa dan menghirup nafas dalam-dalam supaya udara pengab dan penuh dengan nuansa sadisme yang terhirup dalam paru-paru saya selama menjelajahi empat gedung bekas penjara tersebut tergantikan dengan udara luar yang baru dan bersih.
Sekali lagi, dibutuhkan keberanian tersendiri untuk melihat dan mendengarkan penjelasan serta mengambil ulang foto-foto tentang apa yang terjadi dalam setiap sudut ruangan dari masing-masing gedung bangunan museum bekas penjara S.21 ini.