Satu hal yang mungkin belum anda ketahui adalah bisnis pengemis di Samarinda yang boleh dikata seperti mendulang emas. Bayangkan penghasilan pengemis disana sebesar Rp 1.8 juta / hari (baca baik-baik! per hari lho ya, bukan per bulan), itu pun kalau pas lagi sepi. Kalau lagi ramai, sering bisa lebih dari jumlah tersebut.Oleh sebab itu, tidak lah heran kalau banyak sekali orang-orang yang merekrut sejumlah pengemis dari Pulau Jawa untuk dipekerjakan di Samarinda. Menurut cerita bahwa di Samarinda hanya “uang besar” yang diberikan, membuat para pengemis dari sejumlah kota di Jawa, memilih hijrah ke kota ini.
Kisah pengemis berpenghasilan besar ini dialami oleh Marfuah, seoarng wanit yang sudah berumur sekitar 55 tahun. Padahal wilayah operasinya cuma di Jl Gatot Subtoro, Samarinda Utara dirinya bisa meraup paling tidak Rp 1.8 juta per hari. Wanita tua ini berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim). Dilihat dari cacat fisiknya, semua orang pasti iba dan menaruh kasihan. Marfuaah menderita cacat bawa lahir dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Lengannya kecil tanpa bertelapak tangan. Hanya ada kaki kirinya, itu pun kecil. Karena kondisinya tersebutlah, Marfuah harus berjalan dengan cara ngesot. Melihat seorang ibu tua berjalan dengan cara memilukan tersebut, banyak masyarakat yang hatinya tersentuh dan tidak ragu-ragu memberikan uang dalam jumlah besar. Kalau pengemis lain paling mendapat lembaran Rp1.000, Marfuah mampu memperoleh lembaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
Akan tetapi rejeki nomplok ibu tua ini ternyaya haus berakhir (untuk sementara) karena dirinya diamankan oleh Satpol PP di Jl Gatot Subroto pada tgl 9 Agustus 2010 kemarin. Rencananya, Marfuah akan dipulangkan ke kampungnya lewat Surabaya, pada Kamis (12/8) mendatang menggunakan KM Binaiya melalui Pelabuhan Samarinda. Walaupun menyandang cacat fisik, Marfuah masih kuat untuk melawan pada saat diamankan. Bahkan dirinya meraung-raung minta dilepaskan. Namun beberapa anggota Satpol PP tetap saja membawanya bersama dengan gepeng laiinnya ke sebuah truk yang memang sudah disiapkan dan dibawa ke Panti Sosial Tresna Wredha Nirwana Puri di Jl Mayjen Sutoyo, Samarinda Utara. Waktu ditemui Sapos, Marfuah enggak berbiacara. Hanya Bbberapa kata yang keluar dari mulutnya ketika ditanya darimana asalnya, itupun tidak jelas terdengar. Akan tetapi dari logatnya, bisa ditebak kalau dia berasal dari Madura.
Dia bernama Marfuah. Wanita ini diperkirakan berumur 55 tahun, berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim). Jika melihat cacat fisiknya, hati siapa yang tak iba. Makanya, meski hanya melintasi Jl Gatot Subroto, ia mampu mendapat penghasilan hingga Rp1,8 juta sehari.
Marfuah menderita cacat sejak lahir. Kondisinya memang memprihatinkan. Lengannya kecil tanpa bertelapak tangan. Hanya ada kaki kirinya, itu pun kecil. Karena kekurangannya itu, Marfuah harus berjalan dengan cara ngesot. Jadilah ia bergelar pengemis ngesot.
Bagi masyarakat yang hatinya tersentuh, tak ragu-ragu memberikan uang dalam jumlah besar. Kalau pengemis lain paling dapat Rp1.000, Marfuah mampu memperoleh lembaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
Kemarin siang, Marfuah diamankan Satpol PP di Jl Gatot Subroto. Iapun dibawa ke Panti Sosial Tresna Wredha Nirwana Puri di Jl Mayjen Sutoyo, Samarinda Utara. Rencananya, Marfuah akan dipulangkan ke kampungnya lewat Surabaya, pada Kamis (12/8) mendatang menggunakan KM Binaiya melalui Pelabuhan Samarinda.
Meski memiliki keterbatasan fisik, Marfuah sempat melakukan perlawanan saat diamankan. Bahkan ia meraung-raung minta dilepaskan. Tetapi beberapa anggota Satpol PP tetap saja membawanya ke sebuah truk yang memang sudah disiapkan, digabung bersama gepeng yang juga akan dibawa ke panti jompo.
Saat ditemui Sapos, Marfuah enggak berbiacara. Beberapa kata yang diucapkan dari mulutnya saat ditanya darimana asalnya, tak jelas terdengar. Namun dari logatnya, menandakan ia berasal dari Madura.
“Dia memang begitu, ngomongnya tak jelas,” kata Latifah, seorang rekannya sesama pengemis. Latifah menyebut sangat kenal rekan nya tersebut karena sewaktu pengemis yang dikoordinir lagi marak, Marfuah memang sudah menjadi bintangnya. Menurut Latifah, penghasilan Marfuah dalam sehari bisa mencapai Rp1,8 juta. Itu bahkan bisa dikatakan kecil. Soalnya, ia mampu menghasilkan lebih dari itu.
“Kalau dia hanya menghasilkan Rp1 juta dalam sehari, koordinatornya pasti mengatakan ia tak kerja. Bahkan bisa saja dipukuli oleh koordinatornya,” ujarnya lagi.
Uang sebanyak itu diapakan oleh Marfuah? Latifah mengaku tidak mengetahui urusan dapur rekannya tersebut termasuk berapa bagian yang didapat Marfuah dari koordinatorrnya. Menurut Latifah, dari pengalamannya saat punya koordinator, biasanya uang itu akan dipotong biaya-biaya seperti untuk uang makan, tempat tinggal dan uang ojek. Lalu setelah dipotong, sisanya akan dibagi dua dengan koordinator.
“Saya saja dalam sehari bisa mendapatkan Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Uang itu kemudian dipotong Rp40 ribu, sisanya baru dibagi dua,” tandasnya.
Untuk apa dipotong? Menurut Latifah, pemotongan itu untuk membayar uang yang mereka pinjam saat berangkat dari kampung halaman ke Samarinda. Utang itu pun menurutnya akan ditambah dua kali lipat alias berbunga.
“Misalnya saat berangkat dulu saya pinjam Rp1,6 juta. Maka yang saya harus bayar Rp3,2 juta, begitu seterusnya. Pokoknya akan dilipat dua dari yang dipinjam pertama. Belum lagi untuk ojek dan makan,” tambah Latifah.
Kepada Sapos, Latifah mengaku mengaku bersyukur kalau dirinya sudah lepas dari koordinator. Tetapi walaupun sudah lepas dari koordinator, dirinya tetap menjadi pengemis. Karena pekerjaan itu yang paling mudah dan bisa dilakukan segera tanpa harus menunggu.
“Uang dari hasil mengemis saya kirim juga ke Jawa. Karena saya punya 5 anak yang saya titip dengan keluarga. Suami saya sudah meninggal dunia,” ungkap wanita berumur 38 tahun itu.
Hal yang hampir sama dikatakan Kadarusman, lelaki cacat asal Banjarmasin. Ia mengaku datang ke Samarinda sekitar 8 bulan lalu dan selama ini selalu berada di Pasar Pagi. Akan tetapi pria ini tidak mengaku kalau dirinya adalah pengemis. Menurutnya, dia tidak mengemis tetapi pekerjaan nya hanya duduk di tengah pasar. Orang-orang lah yang kasihan kepadanya dan memeberinya sejumlah uang. Jadi menurut versi Kadarusman, dia tidak meminta tetapi diberi.