Di wilayah yang terletak di barat laut Afrika itu, perempuan gemuk dianggap cantik, kaya dan lebih bisa diterima secara sosial. Sebaliknya, perempuan yang kurus dianggap akan membikin malu keluarganya.
Anggapan ini memunculkan sebuah tradisi yang dinamakan leblouh. Sejak remaja atau bahkan masih anak-anak, perempuan dipaksa makan makanan berlemak dan minum susu secara berlebihan agar tampak gemuk saat menikah.
Meski membanggakan bagi keluarga, leblouh terasa sangat menyiksa bagi sebagian perempuan yang dipaksa untuk menjalaninya. Beberapa di antaranya akhirnya jatuh sakit dan sebagian lainnya baru merasakan dampaknya saat memasuki usia lanjut.
"Ibu memaksa saya untuk gemuk sejak berusia 13 tahun dengan memberi makan daging domba yang sangat berminyak. Setiap kali memakannya perut rasanya mau meledak," ungkap seorang perempuan Mauritania, Selekeha Mint Sidi seperti ditulis CNN, Senin (18/10/2010).
Itu baru siksaan yang dirasakan di masa muda. Mar Jubero Capdeferro, perwakilan Population Fund dari PBB untuk Mauritania mengungkap komplikasi akibat kegemukan umumnya muncul saat tumbuh dewasa, seperti diabetes, tekaan darah tinggi dan serangan jantung.
"Sekarang mereka bisa bangga dengan tubuh gemuknya. Namun ketika memasuki usia 40 atau 50 tahun, sebagian dari mereka bahkan sudah merasa kesulitan untuk sekedar bergerak," ungkapnya.
Untungnya, tradisi kurang sehat itu mulai ditinggalkan belakangan ini. Penelitian yang dilakukan Social Solidarity Association pada tahun 2007 menunjukkan tinggal 7 persen perempuan di Mauritania yang menjalani tradisi tersebut, meski di pelosok jumlahnya masih mencapai 75 persen.
Memang tak mudah untuk benar-benar mengubah adat yang sudah turun-temurun. Dr Vadel Lemine, dokter dari Mauritania National Hospital mengakui imbauan para dokter tidak pernah didengar meski korban yang harus dirawat di rumah sakit jumlahnya tidak sedikit.
"Tidak ada data resmi mengenai jumlah korban, tetapi saya yakin jumlahnya sangat banyak. Sebagian besar datang dari pedalaman yang masih sangat taat menjalankan tradisi leblouh," ungkap Dr Vadel.