Sebuah kota yang penuh dengan menara batu gamping menjulang di bagian barat Madagaskar. Kota itu dipagari ngarai, sementara kolong-kolong menaranya berupa gua. Lorong-lorong yang tak terjamah manusia ini dihuni beberapa spesies terunik Madagaskar, sekaligus terunik di dunia. Makhluk-makhluk itu adalah sifaka Decken yang mirip cengkedi, lemur, hingga berbagai reptilia, serangga, dan tumbuhan.
Perjalanan saya menyusuri lorong-lorong buku Gramedia Matraman terhenti di depan buku National Geographic, mata saya terpikat gambar sampul dan bahasan utama yang sangat menarik: Forest Stone. Berikut ini adalah cuplikan-cuplikan dari tulisan Neil Shea, yang mengembara ke dalam Forest Stone Madagaskar. Gambar-gambar indah dalam buku tersebut adalah bidikan kamera Stephen Alvares.
Forest Stone merupakan bagian dari suaka margasatwa dan taman nasional Tsingy de Bemaraha Madagaskar. Tempat ini terletak di pulau yang mahsyur dengan keanekaragaman hayati (90 persen spesies di tempat ini adalah endemis, tak ditemukan di tempat lain di Bumi), kawasan lindung seluas 1.550 kilometer persegi tersebut laksana menjadi sebuah pulau terpisah, semacam benteng hayati, kokoh, hampir tak terjamah, dan nyaris tak bisa ditembus berkat formasi batu gamping raksasa—tsingy—yang membentang di dalamnya.
Di sana, blok batu besar dari periode Jura berkecai menjadi labirin menara seruncing pisau, ngarai sempit, dan gua basah yang tak bisa dimasuki manusia, walaupun tempat ini menjadi rumah bagi berbagai satwa dan tumbuhan. Spesies baru sering ditemukan dari habitat terkucil di dalamnya
Dalam bahasa Malagasi, tsingy berarti “tempat seseorang tak bisa jalan bertelanjang kaki”, tetapi kemudian kami mendapati bahwa sepatu yang kuat pun masih tak cukup untuk bentang alam tersebut. Di beberapa tempat kami mencoba menjelajah dengan menggunakan peralatan panjat tebing. Tsingy menghancurkan peralatan tersebut, juga badan ini, dengan sama mudahnya.
Formasi yang tak umum di Tsingy de Bemaraha adalah sejenis sistem karst, lanskap yang terbentuk akibat batu gamping berpori dilarutkan, digerus, dan dibentuk oleh air. Proses yang memahat lanskap batu ajaib itu kompleks dan langka; hanya ada sedikit formasi karst serupa di luar Madagaskar. Para peneliti yakin bahwa air tanah menyusup ke dalam endapan batu gamping raksasa dan mulai melarutkan bagian sambungan dan patahannya, membuat gua dan terowongan. Lubang itu membesar dan akhirnya atapnya runtuh di sepanjang sambungan tersebut, menciptakan ngarai lurus yang disebut grike hingga sedalam 120 meter dan berdampingan dengan menara batu yang menjulang. Beberapa grike sangat sempit sehingga sulit dilalui manusia; sementara yang lainnya selebar jalan raya.
Jika dilihat dari udara, tsingy bakal mengingatkan pilot pada ngarai kota nan tinggi di Manhattan, tempat barisan pencakar langit yang bersegi-segi menjulang di atas jaringan jalan dan gang, bangunan dan taman, dan di bawahnya terbentang sistem pipa, pelimbahan, dan terowongan kereta. Metafora itu juga berlaku bagi penghuni tsingy karena formasi tersebut menjadi barisan gedung apartemen nan jangkung, menyediakan naungan bagi kumpulan spesies yang berbeda di setiap tingkatnya.
Di tempat tertinggi yang ada hanyalah sedikit tanah dan tak ada tempat berlindung dari Matahari. Di sini suhu sering mencapai 32°C dan kehidupan satwa dan tanamannya terbatas pada makhluk yang dapat melawan dehidrasi atau berpindah-pindah antara puncak dan ngarai. Lemur seperti sifaka Decken berbulu putih dan lemur cokelat menggunakan tsingy sebagai jalan raya, melompat dari menara ke menara saat berpindah dari pohon buah ke pohon buah. Di dalam ceruk dan celah, kadal mengejar serangga melintasi taman tumbuhan xerofit yang tahan kemarau—euphorbia, lidah buaya, Pachypodium berduri, dan tumbuhan lain yang menjulurkan akar panjangnya laksana kabel ke dalam batu untuk mencari air.
Di paruh ketinggian apartemen tersebut terdapat lebih banyak relung di dinding ngarai. Keluang dan betet vasa gelap bersarang di sini, celoteh dan jeritannya bergema di ruang berkubah dan galeri yang runtuh. Di tempat yang lebih teduh, lebah bersarang dalam lubang di batu. Namun di dasar grike yang lembaplah air dan tanah terkumpul dan lingkungan di tempat inilah yang paling beragam. Di sini, di antara barisan anggrek dan kayu keras tropis yang besar, berkeliaran bermacam satwa: keong raksasa dan serangga mirip jangkrik sebesar kepalan, bunglon besar, ular hijau zamrud, dan tikus merah. Fossa pemakan lemur—mamalia kurus berbulu tipis dengan cakar yang dapat dimasukkan seperti kucing besar—juga berkeliaran di tsingy.
Dan akhirnya, di bawah tanah dan lumpur terdapat jalur gua dan terowongan, sistem lorong bawah tanah tempat ikan, ketam, serangga, dan makhluk lainnya hidup dan berkeliaran, beberapa bahkan tak pernah muncul ke permukaan
Kota benteng ini melindungi penduduknya bahkan di saat ekosistem Madagaskar yang lain hancur. Para ilmuwan menyebutnya suaka yang sempurna.